Melalui ponselnya, cowok berkepala plontos ini mengakses sebuah situs yang isinya adalah gudang emoticon (ikon yang menunjukkan emosi) atau avatar dari para member-nya. Dia tahu, Cindy adalah salah seorang anggota layanan tersebut, sama dengan dirinya. Begitu login ke situs, Bobby melakukan search nama Cindy. Segera muncul nickname cewek kutu buku ini, berikut emoticon yang menunjukkan bahwa dirinya sedang stress.
Sebagai sahabat bertahun-tahun, Bobby tahu bahwa nonton konser bukan pengobat stress yang mujarab bagi Cindy. Maka di ponselnya, Bobby mengetik SMS singkat sekali: “Yuks, gw temenin blanja ke mal manapun yg loe mau”. Beberapa detik kemudian di kamar Cindy terdengar teriakan “Yuhuuu!!”.
Kemudian, tidak sampai hitungan menit, emoticon Cindy di situs tersebut sudah berubah menjadi wajah yang tersenyum lebar, berikut tulisan: “Horee, ada juga org yg ngertiin gw!”.
Proklamasi Batin
Ilustrasi tersebut akan segera menjadi kenyataan sehari-hari. Orang ingin emosinya diketahui orang lain, apalagi jika sedang bahagia. Tak heran jika fitur status di aplikasi ngobrol seperti Yahoo! Messenger banyak digunakan orang untuk memproklamasikan situasi batinnya saat itu.
Dengan peranti komunikasi, khususnya Internet, “panggung” untuk mengaktualisasikan diri makin terbuka, “audiens” yang memiliki akses untuk menonton performance kita juga makin luas, tak dibatasi jarak. Itulah mengapa situs layanan-layanan yang memungkinkan orang membina jaringan sosial dan mengisinya dengan percikan karya dan pemikiran pribadi menjadi situs yang laris. Kecenderungan itulah yang dirangkum dalam platform Web 2.0 yang mulai hot dibicarakan sejak tahun 2005.
Secara gampang, Web 2.0 adalah layanan Internet generasi kedua yang memberikan layanan-layanan yang memungkinkan penggunanya berkolaborasi dan berbagi informasi dan pengalaman. Dengan demikian, isi atau muatan situs tersebut adalah user generated content, konten yang diciptakan oleh pengguna sendiri. Situs-situs paling ramai dikunjungi orang saat ini adalah situs yang berbasis Web 2.0, seperti: Friendster, Youtube, Wikipedia, Flickr, dan lain-lain.
Dari fenomena Web 2.0 tersebut bisa disarikan beberapa kecenderungan yang kemudian lengket menjadi karakteristiknya, yaitu (Hogg, 2005):
- Fokus utamanya terletak pada konten yang diciptakan oleh pengguna (user generated content) dan layanan timbal balik bagi penciptaan, pengelolaan, update, dan sharing secara kolaboratif
- Platform Web 2.0 juga memiliki ciri prosedur penginian (update) otomatis atas konten yang dimasukkan pengguna dan hal ini menciptakan kondisi informasi dan pengetahuan yang selalu baru, hasil kolaborasi bersama para penggunanya
- Layanan pembangunan kepercayaan melalui rating, voting, dan sejenisnya, yang membentuk layanan “intelijen” kolektif
Dalam definisi Hogg yang agak filosofis, Web 2.0 adalah “falsafah dalam memaksimalkan pengetahuan bersama dan menambahkan nilai untuk semua pengguna yang berpartisipasi melalui sharing yang terlembaga dan dinamis, serta penciptaan konten oleh pengguna”.
Ponsel Menohok PC
Ponsel-ponsel yang ada di pasar hari ini sudah banyak yang bisa bertingkah bak komputer. Termasuk dalam mengakses Internet. Bahkan dalam beberapa hal, ponsel lebih berdaya untuk menghadirkan Internet di hadapan kita. Beberapa kecenderungan yang bisa dicatat adalah seperti:
Pertama, ponsel dan jaringan yang memasok datanya memungkinkan Internet diakses secara lebih mobile. Tidak peduli ada di tengah
Kedua, harga ponsel yang memiliki kapabilitas Internet melalui teknologi GPRS (2,5G), EDGE (2,75G), WCDMA (3G), dan HSDPA (3,5G) makin terjangkau, bahkan lebih murah dari seperangkat komputer. Populasinya di pasar juga jauh melampaui populasi komputer, apalagi komputer yang terkoneksi ke Internet.
Ketiga, layanan data yang diusung operator makin murah ditingkahi dengan kecepatan yang makin tinggi. Dalam soal lebar pita akses malah seluler lebih unggul karena menawarkan lebih banyak pilihan teknologi nirkabel pita lebar berkecepatan tinggi (Broadband Wireless Access, BWA).
Keempat, kemampuan hardware dan software ponsel sudah maju dan memungkinkan “memindahkan” apa yang ada di PC alias komputer ke dalam handset. Peranti lunak tulang punggung Internet seperti browser, e-mail client, instant messaging, hadir di ponsel dengan “perwira”, mengawal seliweran data dan informasi seluas dunia.
Intinya, ponsel lebih luwes dan seksi untuk komunikasi data alias mengakses Internet. Konsekuensinya, ponsel sudah dan juga akan segera secara lebih marak menjadi peranti Web 2.0 yang paling luwes dan seksi. Dalam aras ini, ponsel sekadar menjadi kepanjangan tangan saja dari apa yang berlangsung di Internet. Dengan kemampuan dasar akses Internet, ponsel dibiarkan menjadi peranti teknologi informasi secara apa adanya. Ada aras lain di mana ponsel memainkan peran sentral. Seperti apa perannya?
Bagaimanapun, peranti yang personal seperti ponsel (kenyataannya mendahului sebagai peranti yang lebih personal daripada Personal Computer alias PC) memiliki karakteristik dan khittah sendiri yang berbeda dengan komputer. Apalagi karena jumlahnya yang lebih massif dibanding komputer, sudah selayaknya ponsel justru dikedepankan sebagai peranti untuk membuat layanan social networking dalam platform Web 2.0. Saatnya berpaling ke ponsel yang diintegrasikan dengan layanan-layanan Web 2.0 murni untuknya. Saatnya untuk memiliki sendiri platform Web 2.0 khusus untuk peranti mobile. Orang-orang menyebutnya Mobile Web 2.0 atau
Dalam “My Mobile 2.0 Manifesto”, Fabricio Capobianco, menegaskan beda antara Web 2.0 dan
VAS 2.0
Selama ini operator seluler selalu dalam pencarian untuk melahirkan konten-konten yang “killer” agar dapat mendulang revenue dari layanan bernilai tambah (Value Added Services, VAS). Dengan tren multimedia dan broadband yang diusung oleh ponsel-ponsel baru, apakah Mobile 2.0 juga akan menjadi VAS yang paling efektif dan bermanfaat bagi pengguna?
Harus dipahami bahwa bibit-bibit jejaring sosial alias social networking melalui ponsel sudah lahir dan digunakan masyarakat saat ini juga. Ketika peranti mobile sekadar berfungsi sebagai kepanjangan tangan Internet (dan Web 2.0) seperti saat ini, sudah banyak pengguna yang mengakses situs-situs Web 2.0 seperti Googlemaps, Flickr, Blogspot, MySpace, Youtube, dan lain-lain, dengan lancar. Artinya, sudah jamak pengguna peranti mobile yang mencicipi Web 2.0. Artinya pula, sudah tak terhitung revenue yang ditangguk dari operator dari lalu-lalang data jejaring sosial itu.
Setelah era Web 2.0, era Mobile 2.0 sejati juga bukannya masih di angan-angan. Setelah mengawali dengan kerjasama dengan layanan-layanan Web 2.0, kini perusahaan besar itu sudah mengumumkan sebuah gagasan besar: Ovi. Ovi yang diambil dari bahasa Finlandia yang berarti “pintu”, adalah sebuah platform layanan Web yang merangkum layanan-layanan Web 2.0 populer seperti MySpace, Flickr, YouTube, LinkedIn, dan Facebook. Semua itu akan ditanamkan pada berbagai handset Nokia Series 60.
Vendor peranti mobile sudah menangkap masa depan dengan potensi peluangnya. Pihak-pihak lain juga pasti sudah berancang-ancang untuk mengeruk emas dari layanan berbasis Web 2.0. Saatnya operator juga berpikir dalam kerangka yang sama, yang jika mengikuti nomenklatur populer mungkin boleh disebut sebagai VAS 2.0.
Dalam VAS 2.0, operator seluler bisa memilih perannya. Apakah akah berdiri sebagai sekadar pipa penyalur traffic konten, apakah memilih sebagai partner dari pihak lain yang sudah menyediakan konten dan layanan jejaring sosial, atau sebagai perintis yang merancang layanan solusi dan menentukan peran pihak lain. Tentu saja peran menjadi tuan rumah dan penggagas VAS 2.0 adalah pilihan yang paling pas untuk operator. Nokia dengan Ovi adalah contoh sebuah perusahaan peranti keras yang memahami ke mana angin bertiup, dan bergegas menyongsong abad komunitas digital dengan menjadi salah satu tuan rumahnya. (Ketika Microsoft mengandalkan Windows alias jendela, Nokia hadir dengan Ovi alias pintu, yang tentu saja lebih lebar dan “lebih legal” untuk dimasuki.)
Menurut perkiraan The Mobile World, pada akhir tahun 2007 ini akan terdapat 3,25 milyar pelanggan seluler di dunia, atau lebih dari separuh jumlah penduduk planet ini. Dibanding posisi akhir tahun 2006, maka rata-rata peningkatan jumlah pelanggan adalah lebih dari 1000 pelanggan per menit!
Orang menyebut generasi muda sekarang ini sebagai Generation C (Community Generation) alias generasi yang “doyan” berkomunitas. Namun agak berbeda dengan cara berkomunitas
Yang perlu diingatkan, agar tidak menimbulkan apriori, adalah bahwa nomenklatur seperti Web 2.0, Mobile 2.0, VAS 2.0, dan sebagainya, sebenarnya adalah sebuah konseptualisasi dari gejala. Kegiatannya sendiri sudah faktual terjadi di sekitar kita secara sporadis. Sekarang, tinggal kita tunggu operator mana yang akan tampil sebagai pelopor yang menangkap peluang sejarah ini dan menyajikan layanan VAS 2.0 kepada pelanggan secara menarik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar