CianjurTECHNO (20/10) Teknologi, selain terkadang memberikan keburukan, juga mampu mendorong sebuah gerakan politik di sebuah negara. Myanmar adalah salah satu contoh.
Lalu lintas informasi mengenai unjuk rasa menentang junta militer beberapa pekan terakhir di negeri itu dirasakan begitu cepat.
Telepon seluler dan internet dinilai memainkan peranan penting dalam maraknya gelombang protes kelompok prodemokrasi Myanmar. Hal ini terwujud dengan dapat disiarkannya satu cuplikan video setiap waktu.
Associated Press melansir, Kamis (27/9/2007), sejumlah jurnalis dari lembaga Reporters Without Borders (Reporter Tanpa Batas) yang berada di Myanmar menyebutkan rezim junta militer hanya menonaktifkan beberapa layanan telepon selular.
Sementara itu, di Oslo, Norwegia, sebuah jaringan radio dan televisi menyebut Suara Demokrasi Birma –nama lama Myanmar– berada di bagian terdepan penerimaan dan penyiaran seperti pengiriman sibernetika (cyber) melalui satelit TV dan radio gelombang pendek.
Pemimpin Redaksi stasiun televisi Aye Chan Ning –yang didirikan pada 1992 oleh mahasiswa eksil Myanmar yang telah mengirimkan gambar dan informasi tentang protes anti pemerintah– menyatakan, stasiun informasi tidak seperti 1988, ketika aksi serupa pecah dan berakhir dengan tewasnya 3000 orang.
Saat ini, lanjutnya, dunia menonton Myanmar di televisi dan sejumlah gambar tetap diselundupkan keluar Myanmar melalui internet. Sejumlah gambar dramatis masuk melalui surat elektronik (e-mail) untuk aktivis eksil dan melalui telepon genggam untuk jurnalis, yang berasal dari Myanmar namun berada di luar negeri.
Sementara masyarakat di dalam Myanmar sendiri menerima informasi melalui radio gelombang pendek.
"Saat ini, dibandingkan 1988, ada banyak teknologi baru untuk memperoleh berita tentang Birma…Orang-orang bisa mengambil gambar dan video untuk mengetahui apa yang terjadi. Ini sesuatu yang luar biasa untuk Birma yang merupakan negara yang sangat miskin," ungkap Vincent Brossel, Direktur desk Asia Reporters Without Borders.
"Teknologi adalah senjata yang sangat berguna yang bisa anda gunakan dalam kondisi seperti perjuangan untuk perdamaian," tambah Vincent.
Sementara itu, menurut Aung Zaw, redaktur Majalah Irrawady di Thailand, "pada 1988, sekali dalam beberapa minggu, bahkan beberapa bulan untuk memperoleh gambar. Sekarang menjadi sangat cepat."
"Dunia tidak tahu di mana Birma berada. Sekarang mereka melihat gambar mengenai situasi dan ingin tahu lebih banyak. Sebuah perbedaan besar dari 1988," katanya.
Selain lalu lintas informasi ke luar Myanmar, menurut Aung Din, Direktur Kebijakan bersama Kampanye Amerika Serikat (AS) untuk Myanmar di Washington DC, komunikasi di dalam negeri juga sangat penting.
"Mahasiswa menggunakan telepon selular untuk mengirimkan sms antara satu sama lainnya guna berbagi informasi," tegas Aung sambil menyebutkan pesan yang berseliweran di antara aktivis itu digunakan untuk merencanakan dan melakukan demonstrasi serta memberitahu di mana tentara pemerintah berada
Lalu lintas informasi mengenai unjuk rasa menentang junta militer beberapa pekan terakhir di negeri itu dirasakan begitu cepat.
Telepon seluler dan internet dinilai memainkan peranan penting dalam maraknya gelombang protes kelompok prodemokrasi Myanmar. Hal ini terwujud dengan dapat disiarkannya satu cuplikan video setiap waktu.
Associated Press melansir, Kamis (27/9/2007), sejumlah jurnalis dari lembaga Reporters Without Borders (Reporter Tanpa Batas) yang berada di Myanmar menyebutkan rezim junta militer hanya menonaktifkan beberapa layanan telepon selular.
Sementara itu, di Oslo, Norwegia, sebuah jaringan radio dan televisi menyebut Suara Demokrasi Birma –nama lama Myanmar– berada di bagian terdepan penerimaan dan penyiaran seperti pengiriman sibernetika (cyber) melalui satelit TV dan radio gelombang pendek.
Pemimpin Redaksi stasiun televisi Aye Chan Ning –yang didirikan pada 1992 oleh mahasiswa eksil Myanmar yang telah mengirimkan gambar dan informasi tentang protes anti pemerintah– menyatakan, stasiun informasi tidak seperti 1988, ketika aksi serupa pecah dan berakhir dengan tewasnya 3000 orang.
Saat ini, lanjutnya, dunia menonton Myanmar di televisi dan sejumlah gambar tetap diselundupkan keluar Myanmar melalui internet. Sejumlah gambar dramatis masuk melalui surat elektronik (e-mail) untuk aktivis eksil dan melalui telepon genggam untuk jurnalis, yang berasal dari Myanmar namun berada di luar negeri.
Sementara masyarakat di dalam Myanmar sendiri menerima informasi melalui radio gelombang pendek.
"Saat ini, dibandingkan 1988, ada banyak teknologi baru untuk memperoleh berita tentang Birma…Orang-orang bisa mengambil gambar dan video untuk mengetahui apa yang terjadi. Ini sesuatu yang luar biasa untuk Birma yang merupakan negara yang sangat miskin," ungkap Vincent Brossel, Direktur desk Asia Reporters Without Borders.
"Teknologi adalah senjata yang sangat berguna yang bisa anda gunakan dalam kondisi seperti perjuangan untuk perdamaian," tambah Vincent.
Sementara itu, menurut Aung Zaw, redaktur Majalah Irrawady di Thailand, "pada 1988, sekali dalam beberapa minggu, bahkan beberapa bulan untuk memperoleh gambar. Sekarang menjadi sangat cepat."
"Dunia tidak tahu di mana Birma berada. Sekarang mereka melihat gambar mengenai situasi dan ingin tahu lebih banyak. Sebuah perbedaan besar dari 1988," katanya.
Selain lalu lintas informasi ke luar Myanmar, menurut Aung Din, Direktur Kebijakan bersama Kampanye Amerika Serikat (AS) untuk Myanmar di Washington DC, komunikasi di dalam negeri juga sangat penting.
"Mahasiswa menggunakan telepon selular untuk mengirimkan sms antara satu sama lainnya guna berbagi informasi," tegas Aung sambil menyebutkan pesan yang berseliweran di antara aktivis itu digunakan untuk merencanakan dan melakukan demonstrasi serta memberitahu di mana tentara pemerintah berada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar